بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sepanjang sejarah agama-agama wahyu, Ilmu Tauhid yang digunakan untuk menetapkan dan menerangkan segala apa yang diwahyukan Allah kepada RasulNya tumbuh bersama tumbuhnya agama ini. Para tokoh agama berusaha memelihara dan meneguhkan agama dengan berbagai macam cara dan dalil yang mampu mereka ketengahkan. Ada yang kuat, ada yang sempit, ada yang luas, sesuai dengan masa dan tempat serta hal-hal yang mempengaruhi perkembangan agama.
Perkembangan Ilmu Tauhid mengalami beberapa tahapan sesuai dengan sesuai dengan perkembangan Islam, yang dimulai pada masa Rasulullah SAW, masa Khullafaurrasyidun, masa Daulah Umayyah, masa Daulah Abbasyiah dan masa sesudah kemunduran Daulah Abbasyiah.
1 Perkembangan Ilmu Tauhid di masa Rasulullah saw.
Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan umatdan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara ummatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dlam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah swt dan RasulNya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat al-Anfal ayat 46, yang artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Dan surat Al-Maidah ayat 15, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”.
Pengalaman pahit orang Kristen menjadi bukti karena perpecahan membuat mereka hancur. Mereka melupakan perjanjian Allah swt akan beriman teguh, sehingga Allah menumbuhkan rasa permusuhan dalam dada mereka yang mengakibatkan timbulnya golongan yang saling bertengkar dan bercerai berai seperti golongan Nasturiyah, Ya’kubiyah dan Mulkaniah.
Perbedaan pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam maslah aqidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah dan wahyuNya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.
2. Perkembangan Ilmu Tauhid pada masa Khullafaurrasyidun.
Masa permulaan khalifah Islam khususnya khalifah pertama dan kedua, Ilmu Tauhid masih tetap seperti masa Rasulullah saw. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak sempat membahas dasar-dasar aqidah dimaksud. Waktu semuanya tersita untuk menghadapi musuh, mempererat persatuan dan kesatuan umat.
Kaum muslimin tidak mempersoalkan bidang aqidah, mereka membaca dan memahami al-Quran tanpa takwil, mengimani dan mengamalkannya menurut apa adanya. Menghadapi ayat-ayat mutasyabihat segera mereka imani dan menyerahkan pentakwilannya kepada Allah swt sendiri.
Masa kha;ifah ke tiga, Usman bin Affan, mulai timbul kekacauan yang berbau politik dan fitnah, sehingga Usman sendiri terbunuh. Usman Islam pecah berpuak-puak dengan pandangan sendiri. Untuk mendukung pandangan mereka tanpa segan mereka menakwilkan ayat-ayat suci dan Hadits Rasulullah saw. Malahan ada diantara mereka menciptakan hadits-hadits palsu.
3. Perkembangan Ilmu Tauhid di masa Daulah Umayyah.
Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa seebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “ahlu at-Tauhid”).
Penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa besar, walaupun pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok yang tetap memihak kepada Ali membentuk golongan Syi’ah.
4. Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Abbasyiah.
Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penterjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam. Dalam masa ini muncul polimik-polimik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya “al-Imamah, al-Qadar, al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “al-Amin wa al-Muta’allim” dan “Fiqhu al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah.
Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa asy-syarizati min al-Ittishal” dan “al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
5. Perkembangan Ilmu Tauhid sesudah Daulah Abbasyiah.
Sesudah kemunduran Daulah Abbasyiah, golongan asy’ariyah yang sudah terlalu jauh menggunakan filsafat dalam alirannya tidak banyak mendapat tantangan lagi. Hanya sedikit mendapat reaksi dari golongan Hambaliyah yang tetap berpegang pada pandangan golongan Salaf, beriman dengan apa yang sudah disebutkan al-Quran dan Hadits Rasulullah saw tanpa memerlukan takwil. Pada abad ke delapan Hijriah muncullah Ibnu Taimiyah menentang aliran Asy’ariyah, karena terlalu berlebihan menggunakan filsafat dalam pembahasan Ilmu Tauhid. Timbullah pro dan kontra, ada yang membenarkan Ibnu Taimiyah dan ada yang menganggapnya sesat. Usaha Ibnu Taimiyah ini dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qaiyim al-Jauziyah. Sesudah itu pembahasan Ilmu Tauhid terhenti.
Hilang gairah kaum muslimin untuk mempelajari dan mengembangkannya, kecuali hanya membaca kitab-kitab yang sudah ada saja. Kefakuman ini cukup lama, barulah berakhir dengan munculnya Sayid jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha di Mesir. Inilah gerakan ini disebut gerakan Salafiyah.
- Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani
Diduga yang pertama kali yang mengadakan penyelidikan tentang akhlak yang berdasarkan ilmu pengetahuan ialah Bangsa Yunani. Ahli-ahli filsafat Yunani kuno tidak banyak memperhatikan pada akhlak, tetapi kebanyakan penyelidikannya mengenai alam, sehingga datangnya Sephisticians (500-450 SM). Arti dari Sephisticians adalah orang yang bijaksana. (Sufisem artinya orang-orang bijak). Pada masa itu kata akhlak terungkap dengan kata etika dengan arti yang sama.
Golongan ahli-ahli filsafat dan juga menjadi guru yang tersebar di beberapa Negeri. Buah pikiran dan pendapat mereka berbeda-beda akan tetapi tujuan mereka adalah satu, yaitu menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi Nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.
Pandangan tentang kewajiban-kewajiban ini menimbulkan pandangan mengenai sebagian tradisi lama dan pelajaran-pelajaran yang dilakukan oleh orang-orang dahulu, yang demikian itu tentu membangkitkan kemarahan kaum yang kolot“conservative”. Kemudian datang filsafah yang lain dan iapun menentang sekaligus mengecam mereka, dan iapun menuduh dan suka memutar balikan kenyataan. Oleh sebab itu buruklah nama mereka, meskipun terkadang ada diantara mereka lebih jauh pandangannya pada zamanya.[1]
Diantara sekian banyak ahli-ahli fikir Yunani yang menyingkapkan pengetahuan akhlak, di sini dikemukakan beberapa diantaranya yang dipandang terkemuka:
- a. Socrates (469-399 SM), terkenal dengan semboyan: “ Kenalilah diri engkau dengan diri engkau sendiri”. Dia dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak Yunani yang pertama. Usahanya membentuk pergaulan manusia-manusia. Dengan dasar ilmu pengetahuan.[2]“ Cynics dan Cyrenics” kedua pengikut Socrates. Untuk golongan Cynics hidup pada tahun (444-370 SM) diantara pelajarannya bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan dan sebaik-baiknya manusia itu yang berperangai dengan akhlak ketuhanan. Pemimpinya adalah Diogenes yang meninggal tahun 323 SM. Ia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya supaya membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan manusia dan perannya. Untuk golonganCyrenics pemimpinya adalah Aristippus dilahirkan di Cyrena (kota di Barkah) di Utara Afrika. Golongan ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan ialah satu-satunya tujuan yang benar untuk hidup, dan perbuatan itu dinamai utama bila timbul kelezatan yang lebih besar dari kepedihan. Adapun CynicsCyrenics berpendapat bahwa kebahagiaan itu dalam mencari kelezatan dan mengutamakannya.[3] berpendapat bahwa kebahagiaan itu menghilangkan kejahatan dan menguranginya sedapat mungkin. Tetapai Sehingga Ia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk perhubungan itu tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan kepada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa “ keutamaan adalah ilmu”. Tetapi sesuatu hal yang tidak jelas dalam ilmu Akhlaknya Socrates, apa tujuan yang terakhir dari akhlak itu serta ukuran apa yang dipergunakan menentukan baik buruknya suatu akhlak. Maka disini timbullah beberapa golongan yang berbeda-beda pendapatnya tentang tujuan akhlak, lalu muncul beberapa paham mengenai akhlak sejak zaman itu hingga sekarang ini.
- Plato (427-347 SM), seorang filsafat Athena dan murid dari Socrates, bukunya yang terkenal adalah “Republic”. Ia membangun ilmu akhlak melalui akademi yang ia dirikan. Pandangannya dalam akhlak berdasar dari “teori contoh” bahwa di balik alam ini ada alam rohani sebagai alam yang sesungguhnya.[4] Dan di alam rohani ini ada kekuatan yang bermacam-macam, dan kekuatan itu timbul dari pertimbangan tunduknya kekuatan pada hokum akal, ia pun berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ada empat antara lain hikmah/kebijaksanaan, keberanian, keperwiraan dan keadilan. Keempat-empatnya itu adalah tiang penegak bangsa-bangsa dan perseorangan.
- Aristoteles (9394-322 SM), dia murid Plato yang membangun suatu paham yang khas, yang mana pengikutnya diberi nama dengan “Paripatetics”karena mereka memberikan pelajaran sambil berjalan. Dan ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia mengenai segala perbuatannya ialah “bahagia” ia berpendapat bahwa jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan akal pikiran sebaik-baiknya. Selain itu Aristoteles ialah pencipta teori serba tengah tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara kedua keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah antar membabi buta dan takut.
Pada akhir abad yang ketiga Masehi tersiarlah kabar Agama Nasrani di Eropa. Agama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang tercantum di dalam Taurat. Demikan juga memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi segala patokan yang harus kita pelihara Dalam bentuk perhubungan kita, dan yang menjelaskan arti baik dan buruk, baik menurut arti yang sebenarnya ialah kerelaan Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Menurut para ahli filsafat Yunani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik dan ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan; menurut Agama Nasrani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik itu ialah cinta kepada Tuhan dan iman kepada-Nya.[5]
B. Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani srta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memilki perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan sperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Namun demikian sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Arostoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang Agama Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian ajaran akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nashrani. Diantara merka yang termasyhur ialah Abelard,, sorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Italia (1226-1274).
Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah.
- Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa Arab pada Zaman Jahiliyah tidak ada yang menonjol dalam segi filsafat sebagaimana Bangsa Yunani (Socrates, Plato dan Aristoteles), Tiongkok dan lain-lainnya. Disebabkan karena penyelidikan akhlak terjadi hanya pada Bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab waktu itu ada yang mempunyai ahli-ahli hikwah yang menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak, misalnya: Luqman el-hakim, Aktsan bin Shoifi, Zubair bin Abi Sulma dan Hotim al-Thoi.
Adapun sebagian syair dari kalangan Bangsa Arab diantaranya: Zuhair ibn Abi Salamyang mengatakan: ”barang siapa menepati janji, tidak akan tercela; barang siapa yang membawa hatinya menunjuka kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”. Contoh lainnya, perkataan Amir ibnu Dharb Al-Adwany ”pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan suatu antara hak dan batil tidak akan mungkin terjadi dan yang batil itu lebih utama buatnya. Sesungguhnya penyelesaian akibat kebodohan”.
Simak apa yang dikatakan Aktsam ibn Shaify yang hidup pada zaman jahiliah dan kemudian masuk Islam. Ia berkata: ”jujur adalah pangkal keselamatan; dusta adalah merusakkan: kejahatan adalah merusakkan; ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan; dan kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan sebaik-baiknya perkara adalah sabar. Baik sangka merusak, dan buruk sangka adalah penjagaan”.
Al-Adwany pernah berpesan kepada anaknya Usaid dengan sifat-sifat terpuji, ujarnya: ’Berbuatlah dermawan dengan hartamu, Memuliakan tetanggamu, bantulah orang yang meminta pertolongan padamu, hormatilah tamumu dan jagalah dirimu dari perbuatan meminta-minta sesuatu pada orang lain”.
Dengar pula apa yang yang dikatan Amr ibn Al-Ahtam kepada budaknya:”Sesungguhnya kikir itu merupakan perangai yang akurat untuk lelaki pencuri; bermurahlah dalam cinta karena sesungguhnya diriku dalam kedudukan suci dan tinggi adalah orang yang belah kasih.setiap orang mulia akan takut mencelamu, dan bagi kebenaran memiliki jalanya sendiri bagi orang-orang yang baik.
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran yang minimal pada bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-filosof Yunani kuno. Dalam syariat-syariat mereka tersebut saja sudah ada muatan-muata akhlak.
Memang sebelum Islam, dikalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat yang mempunyai aliran-aliran tertentu seperti yang kita ketahui pada bangsa Yunani, seperti Epicurus, Plato, zinon, dan Aristo, karena penyelidikan secara ilmiah tidak ada, kecuali sesudah membesarnya perhatian orang terhadap ilmu kenegaraan.[7]
Setelah sinar Islam memancar, maka berubahlah suasana laksana sinar matahari menghapuskan kegelapan malam, Bangsa Arab kemudian tampil maju menjadi Bangsa yang unggul di segala bidang, berkat akhlakl karimah yang diajarkan Islam.[8]
Diantara ayat Al-Qur’an tentang akhlak yaitu:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. ( QS. An-Nahl: 90)
BAB III KESIMPULAN
- Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani
Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Karena ia yang pertama berusaha dengan sungguh-sungguh membentuk perhubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Dia berpendapat akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan ilmu pengetahuan.
Lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan ‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani. Di dalam jiwa itu ada kekuatan bermacam-macam, dan keutamaan itu timbul dari perimbangan dan tunduknya kepada hukum.
Kemudian disusul Aristoteles (394-322 SM), dia adalah muridnya plato. Pengukutnya disebut Peripatetis karena ia memberi pelajaran sambil berjalan atau di tempat berjalan yang teduh
- Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
Pada abad pertengahan, Etika bisa dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada saat itu, Gereja memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar. Jadi manusia tidak perlu lagi bersusah-susah menyelidiki tentang kebenaran hakikat, karena semuanya telah diatur oleh Tuhan.
- Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa Arab pada zaman jahiliah tidak mempunyai ahli-ahli Filsafat yang mengajak kepada aliran atau faham tertentu sebagaimana Yunani, seperti Epicurus, Zeno, Plato, dan Aristoteles.
Hal itu terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang sudah maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka.
[1] Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf (Nilai-nilai akhlak/budipekerti dalam ibadat dan tasawuf), (Jakarta: PT Karya Mulia,2005)hal: 34-35.
[2] Abjan Soleiman, Ilmu Akhlak (Ilmu Etika),(Jakarta: Dinas Rawatan Rohani Islam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,1976) hal: 28.
[3] Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf, Op.cit,hal: 35-36.
[4] Abjan Soleiman, Ilmu Akhlak Op.cit,hal:.29.
[5] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia,2005),hal: 45
[7] Zahruddin AR,dkk,Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2004) hal: 25-27.
[8] Abjan Soleiman, Ilmu Akhlak Op.cit,hal:.30.